Pada zaman dahulu, merak tak
hanya memiliki bulu yang indah, ia
juga memiliki suara yang amat merdu. Karenanya ia sangat sombong. Kemana
pun ia pergi, tiada henti-hentinya ia memamerkan kecantikan diri dan
suaranya. Berbeda dengan merak, kutilang mempunyai suara yang amat
buruk, tubuhnya pun kecil. Karenanya kutilang sering menjadi bahan
olok-olok. Namun hal itu tak merisaukannya, kutilang tetap saja riang
gembira dan suka menolong sesama.
Pada suatu hari, kutilang mendapati
bunga-bunga di hutan tertunduk layu. "Hai kawan-kawan", tegur kutilang,
"Apa yang terjadi, mengapa kalian begitu sedih?" Tak sekuntum bunga pun
yang menyahut, semua diam tertunduk. Kutilang menghampiri mereka satu
persatu. Namun bunga-bunga itu hanya menggeleng lemah. Risau hati
kutilang dibuatnya.Karena ingin tahu, terbanglah kutilang berkeliling.
Dan betapa terkejutnya burung itu. Tampak oIehnya, di antara akar pohon
waru, peri bunga tergeletak lemah.
"Astaga, pantas bunga-bunga menjadi layu", pikir Kutilang.
Lekas burung itu menukik menghampiri peri bunga. "Hai peri cantik", ujar Kutilang," Apa yang terjadi dengan mu?"
"Merak telah marah", sahut peri itu, "Ia mematuk aku".
"Mengapa ia sampai marah padamu?"
"Karena aku menolak memujinya, bagiku, ia terlalu sombong dengan segala keIebihan yang dimilikinya".
Kutilang menggeleng-ngelengkan kepalanya. "lalu, bagaimana cara untuk menyembuhkanmu?"
"Ini
amat sulit", sahut peri bunga, "Aku harus mendapat sari madu dari bunga
anggrek bulan. Bunga itu amat tinggi, sedangkan sayapku patah" .
"Jangan
khawatir peri", ujar kutilang, "Naiklah ke punggungku. Aku tahu, di
puncak pohon meranti ada sekuntum bunga anggrek bulan".
"Tetapi tubuhmu amat kecil", sahut bunga, "Kau tak akan kuat membawaku".
"Kita
coba saja", kata Kutilang, "Tubuhmu pun tak besar".Dengan ragu peri
bunga naik ke punggung kutilang. Kutilang pun terbang dengan susah
payah. Pohon Meranti cukup jauh, anggrek bulan pun tumbuh di puncak
pohon yang tinggi itu.
Walau
demikian, akhirnya tiba jugalah kutilang dan peri bunga ke tempat yang
dituju. Kutilang terengah-engah nyaris kehabisan nafas, ia hinggap di
ranting dekat anggrek bulan.
Demikian
lelahnya kutilang, ia tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Sedangkan peri
bunga yang terluka, ia pun terlalu lemah untuk melakukan sesuatu.
Mujur,
anggrek bulan yang melihat keduanya segera mengerti. Segera bunga itu
merundukkan tubuhnya. Peri pun beringsut, ia menghisap sari madu anggrek
itu. Walau hanya setitik, namun itu cukup bagi peri. Lukanya pun
sembuh, kekuatannya pun pulih.
Seketika,
ceriahlah seluruh bunga di hutan. Peri terbang dari punggung kutilang.
Alangkah iba hati peri bunga, tampak burung kecil
itu megap-megap kehabisan nafas.
itu megap-megap kehabisan nafas.
Lekas
peri itu mengambil setitik madu lagi, lalu diberikannya kepada
kutilang. Seketika segarlah burung itu. "Terima kasih peri". Ucap
kutilang.
"Hai, seharusnya aku yang
berterima kasih kepadamu", sahut peri bunga, "Aku dan semua bunga di
hutan ini berhutang budi kepadamu".
Kutilang
hanya menunduk malu mendengar ucapan peri bunga. Peri itu pun
menghampirinya, "Kini, katakanlah apa keinginanmu", ujar peri itu, "Apa
pun akan kupenuhi".
"Terima kasih peri", sahut kutilang, "Melihat bunga-bunga cantik bermekaran pun aku sudah senang".
"Berikan
ia suara merdu si merak", bisik anggrek bulan pada peri, "Ia layak
mendapatkanya. Dan bagi merak, ini akan mejadi hukuman atas
kesombongannya"
Peri bunga setuju.
Suara parau kutilang ditukarkannya dengan suara merak yang merdu. Maka
hingga kini, kutilang memiliki suara merdu yang indah, sedangkan merak
bersuara parau dan buruk. Namun hingga kini merak tetaplah sombong.
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Tidak ada komentar:
Posting Komentar