kursor

Blinking Cute Box Cat

Senin, 28 Mei 2012

KUNYIT EMAS

Si Badu baru saja kembali dari pasar, ia membawa sekantung kecil beras. Hanya itu yang dapat ia beli dari penjualan kayu bakarya. Lelah dan dahaga ia rasakan. Di rumah Si Badu tak ada air setitik pun. Si Badu harus pergi ke mata air untuk mengambil air. Namun kelelahannya tak tertahankan lagi. Maka pergilah Si Badu ke rumah tetangganya.

"Tuan", ujar Si Badu pada tetangganya yang kaya itu, "Berilah hamba setahang air, hamba terlalu lelah untuk pergi ke mata air" .
"Seenakmu saja", sahut tetangga itu, "Di musim kemarau ini air sangat berharga tahu?"
"Jika demikian berilah hamba air barang segelas, hamba sangat dahaga". "Berapa akan kau bayar airku itu?"

Amat sedih Si Badu mendengar ucapan tetangganya itu. Terpaksalah Si Badu pergi juga ke mata air. Karena amat dahaganya air mentah di mata air itu langsung di minumnya.

Sepulang dari mata air Si Badu menanak nasi. Namun saat nasi telah lunak, Si Badu merasa pusing. Tak ada keinginannya untuk makan. Ia pun berbaring dengan kepala serasa mau pecah.

Rupanya akibat kelelahan dan meminum air mentah Si Badu menjadi sakit. Berhari-hari lamanya ia terbaring tanpa daya. Obat tak ada uang pun tak punya.
Paginya tetangga Si Badu yang kaya itu datang.
"He Badu", ujarnya, "Ku dengar kau sakit. Kebetulan aku membutuhkan sebelah kapak. Akan kubeli kapakmu, jadi kau memiliki uang untuk berobat".

Si Badu berpikir, sebagai pencari kayu, bagaimana ia dapat bekerja tanpa kapak. Ia memang membutuhkan uang untuk membeli obat. Namun nanti bagaimana ia dapat memperoleh kapak lagi apabila kapaknya di jual. Maka Si Badu pun menolak tawaran tetangganya. Orang itu pun pergi seraya menggerutu.

Akhirnya, walau tak diobati Si Badu sembuh juga. Beras yang tempo hari dibelinya telah habis. Maka walau masih lemas pergilah Si Badu ke hutan mencari kayu.

Memotong pohon kayu yang besar tentulah Si Badu belum kuat. Maka pergilah Si Badu ke tepi sebuah lubuk. Di sana ada beberapa pohon kayu muda. Harganya murah namun tak apalah. Si Badu sangat membutuhkan uang.

Setelah menemukan pohon kayu yang cukup baik, Si Badu mulai mengayun kapaknya. Malang baginya, saat kapak terayun, lepaslah mata kapaknya. Mata kapak itu terlontar dan jatuh ke dalam lubuk.

Terkejut bukan alang kepalang Si Badu. Dengan was-was ia mencoba melihat ke tepian lubuk. Lubuk itu penuh dengan buaya. Bagaimana mengambil mata kapak itu?

Beberapa saat lamanya Si Badu termenung. Tanpa kapaknya bagaimana ia dapat mencari makan. Penebang kayu itu sungguh, bingung. "Kalau aku menyelami lubuk ini aku bisa mati dimangsa buaya", pikir penebang kayu itu, "Tetapi tanpa kapak itu aku pun bisa mati kelaparan".

Akhirnya Si Badu memberanikan diri terjun ke air. Dengan mata terbuka ia mencoba melihat dalam kekeruhan air lubuk itu. Hatinya sungguh cemas, ia tahu, setiap saat seekor buaya dapat memangsanya.

Di dalam air yang keruh itu sesungguhnya si Badu nyaris tak melihat apa-apa. Namun saat ia menyelami lebih dalam. Tampak seberkas cahaya. "Ha, mungkin cahaya itu berasal dari kapakku", pikir penebang kayu itu, "Baiklah akan kuhampiri saja".

Kian dekat cahaya itu kian jelas. Si Badu keheranan. Berkas cahaya itu seperti berasal dari sebuah lubang. Penebang kayu itu terus mendekat.

Setiba di dekat lubang itu, alangkah terperanjatnya Si Badu. Di dalam lubang itu tampaklah daratan. Air dari lubuk tak masuk ke daratan itu. Sungguh takjub Si Badu melihatnya.

Dengan berdebar-debar Si Badu memasuki lubang itu. Nyatalah sekarang, lubang itu adalah pintu menuju ke dunia lain. Dengan tercengang Si Badu meIihat dunia yang ganjil itu.

Di kejauhan tampak seorang laki-laki berjubah putih, ia datang menghampiri Si Badu. "Hai manusia", ujar laki-laki itu, "Apa yang kau cari di dunia kami".
"Ampunilah kelancangan hamba wahai tuan", sahut Si Badu, lalu ia menjelaskan duduk perkaranya".
"Sungguh malang nasibmu " ucap laki-laki itu setelah mendengar penuturan penebang kayu itu, "Tetapi tak usah risau. Ambillah ini", laki-laki itu menyodorkan sebuah karung. "Dan pulanglah".

Maka pulanglah Si Badu. Setiba dirumah ia membuka karung itu. Heranlah penebang kayu itu, isi karung itu ternyata kunyit, cukup banyak jumlahnya.
"Jika kujual semua kunyit ini", pikir Si Badu, "Cukupkah untuk membeli sebuah mata kapak baru? Kapak bekas pun tak apalah. Ya, tampaknya semua kunyit ini cukup untuk membeli mata kapak bekas."

Si Badu yang belum sehat benar merasa pusing. Ia mengambil sedikit kunyit dari karung. Penebang kayu itu ingin minum air kunyit untuk mengobati pusingnya.
Kunyit pun dikupas oleh Si Badu. Namun alangkah terkejut ia, di balik kulit kunyit itu ternyata berisi emas. Berulang-ulang Si Badu mengusap matanya, ia nyaris tak percaya pada pandangan matanya sendiri.

Sejak saat itu, kayalah Si Badu. Melihat kekayaannya itu, heranlah tetangganya. Ia berpikir, bagaimana Si Badu yang melarat tiba-tiba menjadi kaya.
Karena sangat ingin tahu, tetangga Si Badu itu mengunjunginya. Ia sama sekali tak malu, walau dahulu ia tak pernah memperdulikan penebang kayu itu.

Si Badu menyambut tetangganya dengan senang hati. Keduanya saling bercakap-cakap. Akhirnya tetangga itu menanyakan asal-asul kekayaan penebang kayu itu.

Tanpa rasa segan Si Badu menceritakan pengalamannya di lubuk. Sungguh takjub tetangganya mendengar itu. Pikirnya, jika Si Badu bisa, tentu dirinya pun dapat.

Esok harinya tetangga itu pergilah ke lubuk. Setiba di sana ia merasa ragu. Banyak benar buaya di lubuk itu. Ia merasa takut. Tetapi ketamakan mengalahkan segalanya, Tetangga itu berpikir lagi, Si Badu bisa, tentu dirinya pun dapat
.
Esok harinya tetangga itu pergilah ke lubuk. Seketika belasan ekor buaya menerkamnya. Sia-sia ia melawan, sesaat saja ia telah menjadi pengisi perut buaya-buaya itu.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar