
Si Badu baru saja kembali dari pasar, ia membawa
sekantung kecil beras. Hanya itu yang dapat ia beli dari penjualan kayu
bakarya. Lelah dan dahaga ia rasakan. Di rumah Si Badu tak ada air
setitik pun. Si Badu harus pergi ke mata air untuk mengambil air. Namun
kelelahannya tak tertahankan lagi. Maka pergilah Si Badu ke rumah
tetangganya.
"Tuan", ujar Si Badu pada tetangganya yang kaya itu,
"Berilah hamba setahang air, hamba terlalu lelah untuk pergi ke mata
air" .
"Seenakmu saja", sahut tetangga itu, "Di musim kemarau ini air
sangat berharga tahu?"
"Jika demikian berilah hamba air barang segelas,
hamba sangat dahaga". "Berapa akan kau bayar airku itu?"
Amat
sedih Si Badu mendengar ucapan tetangganya itu. Terpaksalah Si Badu
pergi juga ke mata air. Karena amat dahaganya air mentah di mata air itu
langsung di minumnya.
Sepulang dari
mata air Si Badu menanak nasi. Namun saat nasi telah lunak, Si Badu
merasa pusing. Tak ada keinginannya untuk makan. Ia pun berbaring dengan
kepala serasa mau pecah.
Rupanya
akibat kelelahan dan meminum air mentah Si Badu menjadi sakit.
Berhari-hari lamanya ia terbaring tanpa daya. Obat tak ada uang pun tak
punya.
Paginya tetangga Si Badu yang kaya itu datang.
"He
Badu", ujarnya, "Ku dengar kau sakit. Kebetulan aku membutuhkan sebelah
kapak. Akan kubeli kapakmu, jadi kau memiliki uang untuk berobat".
Si
Badu berpikir, sebagai pencari kayu, bagaimana ia dapat bekerja tanpa
kapak. Ia memang membutuhkan uang untuk membeli obat. Namun nanti
bagaimana ia dapat memperoleh kapak lagi apabila kapaknya di jual. Maka
Si Badu pun menolak tawaran tetangganya. Orang itu pun pergi seraya
menggerutu.
Akhirnya, walau tak
diobati Si Badu sembuh juga. Beras yang tempo hari dibelinya telah
habis. Maka walau masih lemas pergilah Si Badu ke hutan mencari kayu.
Memotong
pohon kayu yang besar tentulah Si Badu belum kuat. Maka pergilah Si
Badu ke tepi sebuah lubuk. Di sana ada beberapa pohon kayu muda.
Harganya murah namun tak apalah. Si Badu sangat membutuhkan uang.
Setelah
menemukan pohon kayu yang cukup baik, Si Badu mulai mengayun kapaknya.
Malang baginya, saat kapak terayun, lepaslah mata kapaknya. Mata kapak
itu terlontar dan jatuh ke dalam lubuk.
Terkejut
bukan alang kepalang Si Badu. Dengan was-was ia mencoba melihat ke
tepian lubuk. Lubuk itu penuh dengan buaya. Bagaimana mengambil mata
kapak itu?
Beberapa saat lamanya Si
Badu termenung. Tanpa kapaknya bagaimana ia dapat mencari makan.
Penebang kayu itu sungguh, bingung. "Kalau aku menyelami lubuk ini aku
bisa mati dimangsa buaya", pikir penebang kayu itu, "Tetapi tanpa kapak
itu aku pun bisa mati kelaparan".
Akhirnya
Si Badu memberanikan diri terjun ke air. Dengan mata terbuka ia mencoba
melihat dalam kekeruhan air lubuk itu. Hatinya sungguh cemas, ia tahu,
setiap saat seekor buaya dapat memangsanya.
Di
dalam air yang keruh itu sesungguhnya si Badu nyaris tak melihat
apa-apa. Namun saat ia menyelami lebih dalam. Tampak seberkas cahaya.
"Ha, mungkin cahaya itu berasal dari kapakku", pikir penebang kayu itu,
"Baiklah akan kuhampiri saja".
Kian
dekat cahaya itu kian jelas. Si Badu keheranan. Berkas cahaya itu
seperti berasal dari sebuah lubang. Penebang kayu itu terus mendekat.
Setiba
di dekat lubang itu, alangkah terperanjatnya Si Badu. Di dalam lubang
itu tampaklah daratan. Air dari lubuk tak masuk ke daratan itu. Sungguh
takjub Si Badu melihatnya.
Dengan
berdebar-debar Si Badu memasuki lubang itu. Nyatalah sekarang, lubang
itu adalah pintu menuju ke dunia lain. Dengan tercengang Si Badu
meIihat dunia yang ganjil itu.
Di
kejauhan tampak seorang laki-laki berjubah putih, ia datang menghampiri
Si Badu. "Hai manusia", ujar laki-laki itu, "Apa yang kau cari di dunia
kami".
"Ampunilah kelancangan hamba wahai tuan", sahut Si Badu, lalu ia menjelaskan duduk perkaranya".
"Sungguh
malang nasibmu " ucap laki-laki itu setelah mendengar penuturan
penebang kayu itu, "Tetapi tak usah risau. Ambillah ini", laki-laki itu
menyodorkan sebuah karung. "Dan pulanglah".
Maka
pulanglah Si Badu. Setiba dirumah ia membuka karung itu. Heranlah
penebang kayu itu, isi karung itu ternyata kunyit, cukup banyak
jumlahnya.
"Jika kujual semua kunyit
ini", pikir Si Badu, "Cukupkah untuk membeli sebuah mata kapak baru?
Kapak bekas pun tak apalah. Ya, tampaknya semua kunyit ini cukup untuk
membeli mata kapak bekas."
Si Badu
yang belum sehat benar merasa pusing. Ia mengambil sedikit kunyit dari
karung. Penebang kayu itu ingin minum air kunyit untuk mengobati
pusingnya.
Kunyit pun dikupas oleh Si
Badu. Namun alangkah terkejut ia, di balik kulit kunyit itu ternyata
berisi emas. Berulang-ulang Si Badu mengusap matanya, ia nyaris tak
percaya pada pandangan matanya sendiri.
Sejak
saat itu, kayalah Si Badu. Melihat kekayaannya itu, heranlah
tetangganya. Ia berpikir, bagaimana Si Badu yang melarat tiba-tiba
menjadi kaya.
Karena sangat ingin
tahu, tetangga Si Badu itu mengunjunginya. Ia sama sekali tak malu,
walau dahulu ia tak pernah memperdulikan penebang kayu itu.
Si
Badu menyambut tetangganya dengan senang hati. Keduanya saling
bercakap-cakap. Akhirnya tetangga itu menanyakan asal-asul kekayaan
penebang kayu itu.
Tanpa rasa segan
Si Badu menceritakan pengalamannya di lubuk. Sungguh takjub tetangganya
mendengar itu. Pikirnya, jika Si Badu bisa, tentu dirinya pun dapat.
Esok harinya tetangga itu pergilah ke lubuk. Setiba di sana ia merasa ragu. Banyak benar buaya di lubuk itu. Ia merasa takut. Tetapi ketamakan mengalahkan segalanya, Tetangga itu berpikir lagi, Si Badu bisa, tentu dirinya pun dapat
.
Esok
harinya tetangga itu pergilah ke lubuk. Seketika belasan ekor buaya
menerkamnya. Sia-sia ia melawan, sesaat saja ia telah menjadi pengisi
perut buaya-buaya itu.
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta