kursor

Blinking Cute Box Cat

Senin, 28 Mei 2012

E-Folklore

Latar Belakang

      Di Indonesia banyak sekali cerita-cerita rakyat yang beredar, dan beberapa dari cerita rakyat tersebut sangat poluler. Sebut saja Malin Kundang, Sangkuriang , Lutung Kasarung. Cerita rakyat tidak hanya sampai disitu, bahkan ada ratusan, cerita-cerita daerah sangat beragam dimulai dari legenda sampai kepahlawanan, dan ada yang termasuk kedua-duanya. Cerita rakyat yang tidak dikenal mulai dilupakan dan sebagian besar mungkin tidak ada orang yang tau, legenda sebuah tempat, daerah dan sebuah monument sebagian besar memiliki riwayat. Untuk itulah kami membuat E-Folklore yang berbasis android sebagai upaya untuk melestarikan cerita rakyat dari seluruh wilayah yang ada diIndonesia.

User Interface
1. Home






2. About



3. List

4. Sublist

5.Cerita Rakyat 


6. Help

KUNYIT EMAS

Si Badu baru saja kembali dari pasar, ia membawa sekantung kecil beras. Hanya itu yang dapat ia beli dari penjualan kayu bakarya. Lelah dan dahaga ia rasakan. Di rumah Si Badu tak ada air setitik pun. Si Badu harus pergi ke mata air untuk mengambil air. Namun kelelahannya tak tertahankan lagi. Maka pergilah Si Badu ke rumah tetangganya.

"Tuan", ujar Si Badu pada tetangganya yang kaya itu, "Berilah hamba setahang air, hamba terlalu lelah untuk pergi ke mata air" .
"Seenakmu saja", sahut tetangga itu, "Di musim kemarau ini air sangat berharga tahu?"
"Jika demikian berilah hamba air barang segelas, hamba sangat dahaga". "Berapa akan kau bayar airku itu?"

Amat sedih Si Badu mendengar ucapan tetangganya itu. Terpaksalah Si Badu pergi juga ke mata air. Karena amat dahaganya air mentah di mata air itu langsung di minumnya.

Sepulang dari mata air Si Badu menanak nasi. Namun saat nasi telah lunak, Si Badu merasa pusing. Tak ada keinginannya untuk makan. Ia pun berbaring dengan kepala serasa mau pecah.

Rupanya akibat kelelahan dan meminum air mentah Si Badu menjadi sakit. Berhari-hari lamanya ia terbaring tanpa daya. Obat tak ada uang pun tak punya.
Paginya tetangga Si Badu yang kaya itu datang.
"He Badu", ujarnya, "Ku dengar kau sakit. Kebetulan aku membutuhkan sebelah kapak. Akan kubeli kapakmu, jadi kau memiliki uang untuk berobat".

Si Badu berpikir, sebagai pencari kayu, bagaimana ia dapat bekerja tanpa kapak. Ia memang membutuhkan uang untuk membeli obat. Namun nanti bagaimana ia dapat memperoleh kapak lagi apabila kapaknya di jual. Maka Si Badu pun menolak tawaran tetangganya. Orang itu pun pergi seraya menggerutu.

Akhirnya, walau tak diobati Si Badu sembuh juga. Beras yang tempo hari dibelinya telah habis. Maka walau masih lemas pergilah Si Badu ke hutan mencari kayu.

Memotong pohon kayu yang besar tentulah Si Badu belum kuat. Maka pergilah Si Badu ke tepi sebuah lubuk. Di sana ada beberapa pohon kayu muda. Harganya murah namun tak apalah. Si Badu sangat membutuhkan uang.

Setelah menemukan pohon kayu yang cukup baik, Si Badu mulai mengayun kapaknya. Malang baginya, saat kapak terayun, lepaslah mata kapaknya. Mata kapak itu terlontar dan jatuh ke dalam lubuk.

Terkejut bukan alang kepalang Si Badu. Dengan was-was ia mencoba melihat ke tepian lubuk. Lubuk itu penuh dengan buaya. Bagaimana mengambil mata kapak itu?

Beberapa saat lamanya Si Badu termenung. Tanpa kapaknya bagaimana ia dapat mencari makan. Penebang kayu itu sungguh, bingung. "Kalau aku menyelami lubuk ini aku bisa mati dimangsa buaya", pikir penebang kayu itu, "Tetapi tanpa kapak itu aku pun bisa mati kelaparan".

Akhirnya Si Badu memberanikan diri terjun ke air. Dengan mata terbuka ia mencoba melihat dalam kekeruhan air lubuk itu. Hatinya sungguh cemas, ia tahu, setiap saat seekor buaya dapat memangsanya.

Di dalam air yang keruh itu sesungguhnya si Badu nyaris tak melihat apa-apa. Namun saat ia menyelami lebih dalam. Tampak seberkas cahaya. "Ha, mungkin cahaya itu berasal dari kapakku", pikir penebang kayu itu, "Baiklah akan kuhampiri saja".

Kian dekat cahaya itu kian jelas. Si Badu keheranan. Berkas cahaya itu seperti berasal dari sebuah lubang. Penebang kayu itu terus mendekat.

Setiba di dekat lubang itu, alangkah terperanjatnya Si Badu. Di dalam lubang itu tampaklah daratan. Air dari lubuk tak masuk ke daratan itu. Sungguh takjub Si Badu melihatnya.

Dengan berdebar-debar Si Badu memasuki lubang itu. Nyatalah sekarang, lubang itu adalah pintu menuju ke dunia lain. Dengan tercengang Si Badu meIihat dunia yang ganjil itu.

Di kejauhan tampak seorang laki-laki berjubah putih, ia datang menghampiri Si Badu. "Hai manusia", ujar laki-laki itu, "Apa yang kau cari di dunia kami".
"Ampunilah kelancangan hamba wahai tuan", sahut Si Badu, lalu ia menjelaskan duduk perkaranya".
"Sungguh malang nasibmu " ucap laki-laki itu setelah mendengar penuturan penebang kayu itu, "Tetapi tak usah risau. Ambillah ini", laki-laki itu menyodorkan sebuah karung. "Dan pulanglah".

Maka pulanglah Si Badu. Setiba dirumah ia membuka karung itu. Heranlah penebang kayu itu, isi karung itu ternyata kunyit, cukup banyak jumlahnya.
"Jika kujual semua kunyit ini", pikir Si Badu, "Cukupkah untuk membeli sebuah mata kapak baru? Kapak bekas pun tak apalah. Ya, tampaknya semua kunyit ini cukup untuk membeli mata kapak bekas."

Si Badu yang belum sehat benar merasa pusing. Ia mengambil sedikit kunyit dari karung. Penebang kayu itu ingin minum air kunyit untuk mengobati pusingnya.
Kunyit pun dikupas oleh Si Badu. Namun alangkah terkejut ia, di balik kulit kunyit itu ternyata berisi emas. Berulang-ulang Si Badu mengusap matanya, ia nyaris tak percaya pada pandangan matanya sendiri.

Sejak saat itu, kayalah Si Badu. Melihat kekayaannya itu, heranlah tetangganya. Ia berpikir, bagaimana Si Badu yang melarat tiba-tiba menjadi kaya.
Karena sangat ingin tahu, tetangga Si Badu itu mengunjunginya. Ia sama sekali tak malu, walau dahulu ia tak pernah memperdulikan penebang kayu itu.

Si Badu menyambut tetangganya dengan senang hati. Keduanya saling bercakap-cakap. Akhirnya tetangga itu menanyakan asal-asul kekayaan penebang kayu itu.

Tanpa rasa segan Si Badu menceritakan pengalamannya di lubuk. Sungguh takjub tetangganya mendengar itu. Pikirnya, jika Si Badu bisa, tentu dirinya pun dapat.

Esok harinya tetangga itu pergilah ke lubuk. Setiba di sana ia merasa ragu. Banyak benar buaya di lubuk itu. Ia merasa takut. Tetapi ketamakan mengalahkan segalanya, Tetangga itu berpikir lagi, Si Badu bisa, tentu dirinya pun dapat
.
Esok harinya tetangga itu pergilah ke lubuk. Seketika belasan ekor buaya menerkamnya. Sia-sia ia melawan, sesaat saja ia telah menjadi pengisi perut buaya-buaya itu.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

MERAK DAN KUTILANG

   Pada zaman dahulu, merak tak hanya memiliki bulu yang indah, ia juga memiliki suara yang amat merdu. Karenanya ia sangat sombong. Kemana pun ia pergi, tiada henti-hentinya ia memamerkan kecantikan diri dan suaranya. Berbeda dengan merak, kutilang mempunyai suara yang amat buruk, tubuhnya pun kecil. Karenanya kutilang sering menjadi bahan olok-olok. Namun hal itu tak merisaukannya, kutilang tetap saja riang gembira dan suka menolong sesama.

   Pada suatu hari, kutilang mendapati bunga-bunga di hutan tertunduk layu. "Hai kawan-kawan", tegur kutilang, "Apa yang terjadi, mengapa kalian begitu sedih?" Tak sekuntum bunga pun yang menyahut, semua diam tertunduk. Kutilang menghampiri mereka satu persatu. Namun bunga-bunga itu hanya menggeleng lemah. Risau hati kutilang dibuatnya.Karena ingin tahu, terbanglah kutilang berkeliling. Dan betapa terkejutnya burung itu. Tampak oIehnya, di antara akar pohon waru, peri bunga tergeletak lemah.

"Astaga, pantas bunga-bunga menjadi layu", pikir Kutilang.
Lekas burung itu menukik menghampiri peri bunga. "Hai peri cantik", ujar Kutilang," Apa yang terjadi dengan mu?"
"Merak telah marah", sahut peri itu, "Ia mematuk aku".
"Mengapa ia sampai marah padamu?"
"Karena aku menolak memujinya, bagiku, ia terlalu sombong dengan segala keIebihan yang dimilikinya".
Kutilang menggeleng-ngelengkan kepalanya. "lalu, bagaimana cara untuk menyembuhkanmu?"
"Ini amat sulit", sahut peri bunga, "Aku harus mendapat sari madu dari bunga anggrek bulan. Bunga itu amat tinggi, sedangkan sayapku patah" .
"Jangan khawatir peri", ujar kutilang, "Naiklah ke punggungku. Aku tahu, di puncak pohon meranti ada sekuntum bunga anggrek bulan".
"Tetapi tubuhmu amat kecil", sahut bunga, "Kau tak akan kuat membawaku".
"Kita coba saja", kata Kutilang, "Tubuhmu pun tak besar".Dengan ragu peri bunga naik ke punggung kutilang. Kutilang pun terbang dengan susah payah. Pohon Meranti cukup jauh, anggrek bulan pun tumbuh di puncak pohon yang tinggi itu.

   Walau demikian, akhirnya tiba jugalah kutilang dan peri bunga ke tempat yang dituju. Kutilang terengah-engah nyaris kehabisan nafas, ia hinggap di ranting dekat anggrek bulan.

   Demikian lelahnya kutilang, ia tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Sedangkan peri bunga yang terluka, ia pun terlalu lemah untuk melakukan sesuatu.
Mujur, anggrek bulan yang melihat keduanya segera mengerti. Segera bunga itu merundukkan tubuhnya. Peri pun beringsut, ia menghisap sari madu anggrek itu. Walau hanya setitik, namun itu cukup bagi peri. Lukanya pun sembuh, kekuatannya pun pulih.

   Seketika, ceriahlah seluruh bunga di hutan. Peri terbang dari punggung kutilang. Alangkah iba hati peri bunga, tampak burung kecil
itu megap-megap kehabisan nafas.

Lekas peri itu mengambil setitik madu lagi, lalu diberikannya kepada kutilang. Seketika segarlah burung itu. "Terima kasih peri". Ucap kutilang.
"Hai, seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu", sahut peri bunga, "Aku dan semua bunga di hutan ini berhutang budi kepadamu".

   Kutilang hanya menunduk malu mendengar ucapan peri bunga. Peri itu pun menghampirinya, "Kini, katakanlah apa keinginanmu", ujar peri itu, "Apa pun akan kupenuhi".

"Terima kasih peri", sahut kutilang, "Melihat bunga-bunga cantik bermekaran pun aku sudah senang".
"Berikan ia suara merdu si merak", bisik anggrek bulan pada peri, "Ia layak mendapatkanya. Dan bagi merak, ini akan mejadi hukuman atas kesombongannya"

   Peri bunga setuju. Suara parau kutilang ditukarkannya dengan suara merak yang merdu. Maka hingga kini, kutilang memiliki suara merdu yang indah, sedangkan merak bersuara parau dan buruk. Namun hingga kini merak tetaplah sombong.

Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta

BANGAU TUA YANG LICIK

Di atas dahan pohon yang rindang, si tua bangau tong-tong memperhatikan air telaga di hadapannya. Ikan-ikan besar, kecil tampak berenang-renang dengan elok-eloknya. Bangau tong-tong hanya mampu menelan liurnya. Perutnya keroncongan minta diisi, namun ia terlalu tua untuk memburu ikan-ikan di telaga yang jernih itu. Tiba-tiba paruh si tua bangau mendongak ke langit. Ia baru saja mendapat satu akal bulus. Suatu cara untuk mendapatkan ikan tanpa harus mengejar-ngejar mereka. 

"Hai kawan-kawan", Si Bangau berseru-seru, "Kemarau segera akan tiba." "
Heh, apa pedulimu," ujar si Cabus.
"Semua juga tahu kemarau pasti datang", sahut Si Ketam.
"Sudah, tak perlu hiraukan si tua pandir itu" si Tele berkata ketus.
"Tunggu kawan-kawan," seru bangau, "Kemarau kali ini akan berlangsung lama, telaga ini akan mengering".
"Apaaa?" seru semua hewan penghuni telaga kaget.
"Ya kawan-kawan telaga ini akan mengering".

Ketakutanlah semua hewan penghuni telaga itu. Ada yang menangis, ada yang mengumpulkan anak istrinya dan ada juga yang mengumpulkan harta bendanya. Mereka semua berenang-renang tak tentu arah.

"Tenang kawan-kawan tenang," ujar bangau, "Aku tahu sebuah telaga yang luas di kaki bukit, telaga itu tak pernah kering walau kemarau sangat panjang."
"Telaga-telaga kepalamu", "bentak Si Gurami, "Kau pikir kami akan terbang ke sana?"
"Itulah yang kumaksud sobatku", ucap bangau, "Kalau kau mau aku bisa membawamu terbang ke sana"
"Sungguhkah?" sambut ikan mas tertarik.
"Tentu saja" jawab si Bangau,"Apapun akan kulakukan demi membantu teman".
"Bawa kami paman, bawa kami", seru hewan-hewan penghuni telaga dengan riuhnya.
"Tenang-tenang, tak perlu berebut. Aku akan membawa kalian satu persatu."

Kemudian si bangau menghampiri kumpulan ikan-ikan. Dengan paruhnya ia mengangkat seekor ikan mas yang sedang besarnya. Lalu terbanglah bangau tong-tong itu dengan ikan mas di paruhnya.

Seharian itu berulang-ulang si bangau mengambil ikan-ikan dan berbagai hewan air lainnya dari telaga itu. Menjelang senja semua ikan telah terangkat habis. Tinggallah si ketam sendirian.

Si ketam menoleh kiri kanan. Sudah tak ada teman seekor pun. Pikir si ketam tentu mereka sudah senang di telaga besar di kaki bukit seperti janji si bangau.
Tak berapa lama si bangau kembali. Ia memandang berkeliling, tak ada ikan lagi yang nampak. Bangau tersenyum puas, perutnya kenyang sekali. Ia lalu hinggap di dahan pohon.

"Paman bangau, jangan lupakan aku", suara parau si ketam membangunkan si bangau.
"Hmm, kaukah itu ketam?"
"Ya paman, bawa juga aku ke telagamu itu, tolonglah paman di sini aku sendirian sekarang".

Si bangau menatap ketam. Tak banyak daging ketam itu tentunya. Lagi pula bangau telah kenyang makan ikan-ikan penghuni telaga. Namun si bangau memang tamak, pikirnya ketam itu cukup nikmat untuk hidangan penutup.

"Baiklah sobat kecil," ujar si Bangau, "Mari kubawa kau ke telagaku".

Dengan paruhnya Bangau tong-tong itu mengangkat si ketam. Lalu bangau itu terbang. Gemetar ketakutan ketam itu dalam jepitan paruh bangau yang tajam. Sekuat tenaga ia berpegangan.

Mendekati bukit yang dituju, alangkah terkejutnya ketam. Ia tak melihat telaga atau genangan air barang setitikpun. Yang dilihat ketam sungguh mengerikan. Gundukan tulang-belulang ikan yang menggunung.

Sadarlah ketam, ia dan teman-temannya telah tertipu. Si Bangau tong-tong telah membawa ikan-ikan dari telaga untuk dimakannya. Kian kecutlah hati si ketam.
Dalam ketakutannya, timbul kemarahan di hati si ketam. Dengan kuat ia menjepit leher si bangau. Terperanjat bangau kesaktian. Ia berusaha meronta. Namun kedua jepit si ketam kian kuat menjepit lehernya. si bangau tong-tong mencoba berteriak, namun tak mampu.

Akhirnya leher si bangau tong-tong putus dijepit si ketam. Bangau itu pun jatuh dan mati. Sedang si ketam yang tubuhnya bercangkang keras hanya memar saja saat ia terbanting di rerumputan.

Dengan sedih si ketam masuk ke sebuah kubangan kecil. Ia telah kehilangan semua temannya. Kini ia harus hidup seidirian di tempat yang baru.
 
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta